Di
jaman sekarang ini, mencari guru “sungguhan” sulit sekali ditemukan. Memang
ada, tapi jumlahnya pasti tidak banyak. Untuk mencarinya saja sudah
sulit apalagi untuk menjadi guru “sungguhan”. Memperkuat pernyataan ini, secara
sengaja saya menemukan satu kata dari bahasa Sanskerta: गुरू yang
berarti guru, dalam arti harfiahnya adalah "berat".[1]
Nah, secara
tidak langsung pernyataan saya di atas tidak terlalu salah bukan? karena guru
itu sendiri punya makna “berat”. Berat dalam hal apa? Tentu saja yang pertama; berat dalam usaha untuk mendapatkan
pekerjaan sebagai seorang guru, kedua berat
dalam berproses untuk menjadi guru, dan ketiga
berat pula untuk menjadi guru yang benar-benar berpredikat guru profesional.
Apalagi pekerjaan menjadi guru saat ini telah diakui dan dihargai sebagai
sebuah profesi. Sama halnya dengan profesi sebagai dokter, pengacara, manager
perusahaan, pelatih klub olahraga dan lain-lain. Karena untuk mendapatkan pengakuan
sebagai guru profesi tidak cukup sekedar memiliki ijazah kejuruannya
masing-masing tetapi juga harus mempunyai sertifikat profesinya (yang untuk mendapatkannya pun tidaklah mudah).
Hal ini tentunya, seiring dengan terbitnya UU No. 14
Tahun 2005 dan PP No. 19 tahun 2005 tentang sertifikasi guru sebagai jaminan lulus uji kompetensi sebagai guru
profesional.
Educational Leadership dalam Supriadi (1998:98) menyatakan bahwa untuk
menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal:[2]
1.
Guru mempunyai
komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen tertinggi
guru adalah kepada kepentingan siswanya.
2.
Guru menguasai
secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta mengajarkannya
kepada siswa. Bagi guru, hal ini merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
3.
Guru
bertanggungjawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi,
mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampai tes hasil belajar.
4.
Guru mampu
berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari pengalamannya.
Artinya, harus selalu ada waktu untuk guru guna mengadakan refleksi dan koreksi
terhadap apa yang telah dilakukannya. Untuk bisa belajar dari pengalaman,
ia harus tahu mana yang benar dan salah, serta baik dan buruk dampaknya pada proses
belajar siswa.
5.
Guru seyogyanya
merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Beratnya
menjadi guru “sungguhan” ini, tidak terkecuali dinyatakan pula oleh mantan
menteri pendidikan era orde baru Prof. DR. Fuad Hasan yang mengatakan bahwa
70
% guru-guru saat ini tidak layak mengajar.[3]
Maka, instropeksi bagi diri kita adalah apakah kita termasuk yang di dalam 70%
itu atau yang diluarnya?
Lantas, siapakah
guru “sungguhan” itu? Guru yang seperti apakah dia? Pertanyaan inilah yang harus
kita coba cari jawabannya sedikit demi sedikit. Karena kita tahu pasti ada guru
“sungguhan” tersebut. Dan yang lebih penting lagi, kita pasti mampu untuk
menjadi bagian kecil dari guru “sungguhan” (minimal
ada kemauan keras untuk keluar dari kecenderungan dikatakan sebagai guru yang
tidak layak mengajar).
Ayo
memilih prinsip hidup sulit tapi bisa daripada bisa
tapi sulit. Karena keduanya berbeda makna. Prinsip yang pertama, maknanya
adalah masih ada optimisme yang tinggi dalam diri seseorang meskipun sulit
keadaannya, sedangkan prinsip yang kedua mengandung sikap pesimisme yang terlalu
kuat meskipun justru masih ada kesempatan untuk memperbaikinya.
Mendeskripsikan
guru “sungguhan” di negara kita, tentunya harus merujuk pada aturan-aturan
pemerintah yang berkaitan dengan dunia guru dan pendidikan. Seperti dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam
Pasal 1 Ayat 6 dinyatakan bahwa “Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi
sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur,
fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta
berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.” Lalu pada Pasal 39 ayat 2, dinyatakan bahwa: ”Pendidik merupakan tenaga
profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan pembelajaran, menilai
hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan
tinggi”.
Selanjutnya
dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan. Dalam aturan ini, para guru di Indonesia diharapkan punya 4
kompetensi dalam menjalankan profesinya, yaitu kompetensi pedagogi, kompetensi kepribadian,
kompetensi profesionalisme, dan kompetensi sosial. Dari 4 kompetensi itu bisa
dijabarkan sebagai berikut:
1. Kompetensi pedagogi
adalah kemampuan seorang guru dalam memahami dan mengelola pembelajaran
siswa-siswanya di dalam maupun di luar kelas.
Dalam kompetensi ini meliputi kemampuan
untuk memahami kondisi siswa baik fisik maupun psikologis dengan baik, kemampuan
untuk memahami cara belajar siswa dengan baik, kemampuan untuk memahami perencanaan
dan pelaksanaan pembelajaran, kemampuan untuk memahami evaluasi hasil belajar
siswa dan kemampuan untuk mengembangankan aktualisasi potensi siswa.
2. Kompetensi kepribadian adalah
kemampuan seorang guru memiliki pola pikir dan pola sikap yang stabil, dewasa,
arif dan berwibawa (yang secara otomatis akan menjadi uswatun hasanah bagi siswa baik ketika berada di dalam lingkungan madrasah/sekolah
maupun di luar) serta berakhlak mulia.
3. Kompetensi profesional adalah
kemampuan seorang guru dalam menguasai materi-materi pembelajaran secara luas
dan mendalam sesuai dengan mata pelajaran yang diampuh sehingga guru dapat
membimbing siswa untuk memenuhi standar kompetensi yang telah ditetapkan.
Di dalam kompetensi ini antara lain
meliputi kemampuan untuk menguasai substansi (isi) materi ajar yang akan
disampaikan dan kemampuan untuk mengembangkannya, kemampuan untuk menguasai
pengembangan kurikulum, silabus, RPP dan evaluasi pembelajaran yang akan
diterapkan dan kemampuan untuk menguasai pendekatan pembelajaran, model
pembelajaran, metode pembelajaran dan strategi pembelajaran.
Profesional
(dari bahasa Inggris) berarti ahli, pakar, mumpuni dalam bidang yang digeluti. Dalam manajemen sumber daya manusia, menjadi
profesional adalah tuntutan jabatan, pekerjaan ataupun profesi. Ada satu hal
penting yang menjadi aspek bagi sebuah profesi, yaitu sikap profesional dan
kualitas kerja.[4]
4. Kompetensi sosial
adalah kemampuan seorang guru untuk berkomunikasi (menjalin hubungan baik) dan
bergaul efektif dengan siswa-siswanya, dengan sesama guru, dengan tenaga
kependidikan, orang tua siswa (wali murid) dan masyarakat sekitarnya (stake holder).
Inilah
persyaratan yang cukup ideal bagi siapapun yang ingin mencari guru “sungguhan”
atau bahkan yang ingin menjadi guru “sungguhan” bukan
sekedar guru biasa. Guru yang memenuhi harapan semua masyarakat, bangsa dan
negara sebagaimana tertuang dalam Undang-undang maupun Peraturan Pemerintah. Bila
Anda saat ini bercita-cita ingin menjadi seorang guru, maka perhatikan
baik-baik kompetensi apa yang harus Anda miliki dan penuhilah persyaratannya.
Niscaya kelak Anda akan menjadi guru “sungguhan”. Yaitu guru
yang bisa dibanggakan, guru yang selalu dirindukan dan guru yang tidak hanya
bisa mengajar tapi juga mampu mendidik.
Bila
Anda saat ini telah menjadi seorang guru, namun belum layak dikatakan sebagai
guru “sungguhan”, -karena belum sesuai dengan UU/PP- maka segeralah perbaiki kompetensi-kompetensi
diri Anda yang masih kurang atau belum memenuhi syarat ideal. Karena jika ini tidak
Anda lakukan, maka selamanya Anda akan dihantui perasaan bersalah dan
penyesalan. Alasannya pertama, saat
ini Anda harus benar-benar menyadari bahwa ditangan guru-guru seperti Andalah inilah
generasi muda dan masa depan bangsa ini dipertaruhkan. Baik jeleknya
kepribadian mereka, cerdas tidaknya otak mereka, berprestasi atau terpuruknya
mereka, maka Anda turut andil di dalamnya. Kedua,
bagi yang sudah PNS dan memperoleh tunjangan profesi pendidik, tentunya Anda
saat ini telah mendapatkan reward yang
cukup layak bahkan lebih dari cukup. Maka sudah sewajarnya dan seharusnya Anda
lebih semangat, lebih rajin, lebih giat dan lebih profesional lagi dalam menjalankan
tugas jabatan Anda. Akan tetapi bila ternyata meningkatkanya kesejahteraan yang
telah diperoleh ini tidak segaris lurus dengan meningkatnya kinerja dan
profesionalisme Anda, maka terlalu banyak sekali pihak-pihak yang telah Anda
rugikan dan Anda kecewakan. Tentunya bukan hanya pihak-pihak yang ada di bumi
tapi juga ‘pihak-pihak’ yang ada di langit.
Idealisme
diatas bukanlah sesuatu yang utopis (tak mungkin tercapai) atau sekedar mimpi penyelenggara
negara di siang bolong untuk memajukan pendidikan di negara kita ini. Tetapi
idealisme ini adalah merupakan suatu keniscayaan cita-cita yang konkrit, yang
bisa tercapai dengan usaha keras, usaha cerdas dan usaha ikhlas semua pihak
pada umumnya dan guru itu sendiri khususnya. Memang berat dan sulit, tetapi
sekali lagi pilihlah prinsip hidup sulit tapi bisa. Maka sesulit
apapun pekerjaan itu akan mampu kita selesaikan karena kita telah menjadi
manusia yang optimis dengan prinsip itu. [pasuruan, 13/01/2012]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar