Jumat, 13 Januari 2012

Sungguh...Tidak Mudah Menjadi Guru “Sungguhan”


Di jaman sekarang ini, mencari guru “sungguhan” sulit sekali ditemukan. Memang ada, tapi jumlahnya pasti tidak banyak. Untuk mencarinya saja sudah sulit apalagi untuk menjadi guru “sungguhan”. Memperkuat pernyataan ini, secara sengaja saya menemukan satu kata dari bahasa Sanskerta: गुरू yang berarti guru, dalam arti harfiahnya adalah "berat".[1]

Nah, secara tidak langsung pernyataan saya di atas tidak terlalu salah bukan? karena guru itu sendiri punya makna “berat”. Berat dalam hal apa? Tentu saja yang pertama; berat dalam usaha untuk mendapatkan pekerjaan sebagai seorang guru, kedua berat dalam berproses untuk menjadi guru, dan ketiga berat pula untuk menjadi guru yang benar-benar berpredikat guru profesional. Apalagi pekerjaan menjadi guru saat ini telah diakui dan dihargai sebagai sebuah profesi. Sama halnya dengan profesi sebagai dokter, pengacara, manager perusahaan, pelatih klub olahraga dan lain-lain. Karena untuk mendapatkan pengakuan sebagai guru profesi tidak cukup sekedar memiliki ijazah kejuruannya masing-masing tetapi juga harus mempunyai sertifikat profesinya (yang untuk mendapatkannya pun tidaklah mudah). Hal ini tentunya, seiring dengan terbitnya UU No. 14 Tahun 2005 dan PP No. 19 tahun 2005 tentang sertifikasi guru sebagai jaminan lulus uji kompetensi sebagai guru profesional.
Educational Leadership dalam Supriadi (1998:98) menyatakan bahwa untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal:[2]
1.    Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen tertinggi guru adalah kepada kepentingan siswanya.
2.    Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta mengajarkannya kepada siswa. Bagi guru, hal ini merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
3.    Guru bertanggungjawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampai tes hasil belajar.
4.    Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari pengalamannya. Artinya, harus selalu ada waktu untuk guru guna mengadakan refleksi dan koreksi terhadap apa yang  telah dilakukannya. Untuk bisa belajar dari pengalaman, ia harus tahu mana yang benar dan salah, serta baik dan buruk dampaknya pada proses belajar siswa.
5.    Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.

Beratnya menjadi guru “sungguhan” ini, tidak terkecuali dinyatakan pula oleh mantan menteri pendidikan era orde baru Prof. DR. Fuad Hasan yang mengatakan  bahwa 70 % guru-guru saat ini tidak layak mengajar.[3] Maka, instropeksi bagi diri kita adalah apakah kita termasuk yang di dalam 70% itu atau yang diluarnya?
Lantas, siapakah guru “sungguhan” itu? Guru yang seperti apakah dia? Pertanyaan inilah yang harus kita coba cari jawabannya sedikit demi sedikit. Karena kita tahu pasti ada guru “sungguhan” tersebut. Dan yang lebih penting lagi, kita pasti mampu untuk menjadi bagian kecil dari guru “sungguhan” (minimal ada kemauan keras untuk keluar dari kecenderungan dikatakan sebagai guru yang tidak layak mengajar).
Ayo memilih prinsip hidup sulit tapi bisa daripada bisa tapi sulit. Karena keduanya berbeda makna. Prinsip yang pertama, maknanya adalah masih ada optimisme yang tinggi dalam diri seseorang meskipun sulit keadaannya, sedangkan prinsip yang kedua mengandung sikap pesimisme yang terlalu kuat meskipun justru masih ada kesempatan untuk memperbaikinya.
Mendeskripsikan guru “sungguhan” di negara kita, tentunya harus merujuk pada aturan-aturan pemerintah yang berkaitan dengan dunia guru dan pendidikan. Seperti dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam Pasal 1 Ayat 6 dinyatakan bahwa “Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.” Lalu pada Pasal 39 ayat 2, dinyatakan bahwa: ”Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi”.
Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam aturan ini, para guru di Indonesia diharapkan punya 4 kompetensi dalam menjalankan profesinya, yaitu kompetensi pedagogi, kompetensi kepribadian, kompetensi profesionalisme, dan kompetensi sosial. Dari 4 kompetensi itu bisa dijabarkan sebagai berikut:
1.      Kompetensi pedagogi adalah kemampuan seorang guru dalam memahami dan mengelola pembelajaran siswa-siswanya di dalam maupun di luar kelas.
Dalam kompetensi ini meliputi kemampuan untuk memahami kondisi siswa baik fisik maupun psikologis dengan baik, kemampuan untuk memahami cara belajar siswa dengan baik, kemampuan untuk memahami perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, kemampuan untuk memahami evaluasi hasil belajar siswa dan kemampuan untuk mengembangankan aktualisasi potensi siswa.

2.      Kompetensi kepribadian adalah kemampuan seorang guru memiliki pola pikir dan pola sikap yang stabil, dewasa, arif dan berwibawa (yang secara otomatis akan menjadi uswatun hasanah bagi siswa baik ketika berada di dalam lingkungan madrasah/sekolah maupun di luar) serta berakhlak mulia.

3.      Kompetensi profesional adalah kemampuan seorang guru dalam menguasai materi-materi pembelajaran secara luas dan mendalam sesuai dengan mata pelajaran yang diampuh sehingga guru dapat membimbing siswa untuk memenuhi standar kompetensi yang telah ditetapkan.
Di dalam kompetensi ini antara lain meliputi kemampuan untuk menguasai substansi (isi) materi ajar yang akan disampaikan dan kemampuan untuk mengembangkannya, kemampuan untuk menguasai pengembangan kurikulum, silabus, RPP dan evaluasi pembelajaran yang akan diterapkan dan kemampuan untuk menguasai pendekatan pembelajaran, model pembelajaran, metode pembelajaran dan strategi pembelajaran.
Profesional (dari bahasa Inggris) berarti ahli, pakar, mumpuni dalam bidang yang digeluti. Dalam manajemen sumber daya manusia, menjadi profesional adalah tuntutan jabatan, pekerjaan ataupun profesi. Ada satu hal penting yang menjadi aspek bagi sebuah profesi, yaitu sikap profesional dan kualitas kerja.[4]

4.      Kompetensi sosial adalah kemampuan seorang guru untuk berkomunikasi (menjalin hubungan baik) dan bergaul efektif dengan siswa-siswanya, dengan sesama guru, dengan tenaga kependidikan, orang tua siswa (wali murid) dan masyarakat sekitarnya (stake holder).

Inilah persyaratan yang cukup ideal bagi siapapun yang ingin mencari guru “sungguhan” atau bahkan yang ingin menjadi guru “sungguhan” bukan sekedar guru biasa. Guru yang memenuhi harapan semua masyarakat, bangsa dan negara sebagaimana tertuang dalam Undang-undang maupun Peraturan Pemerintah. Bila Anda saat ini bercita-cita ingin menjadi seorang guru, maka perhatikan baik-baik kompetensi apa yang harus Anda miliki dan penuhilah persyaratannya. Niscaya kelak Anda akan menjadi guru “sungguhan”. Yaitu guru yang bisa dibanggakan, guru yang selalu dirindukan dan guru yang tidak hanya bisa mengajar tapi juga mampu mendidik.
Bila Anda saat ini telah menjadi seorang guru, namun belum layak dikatakan sebagai guru “sungguhan”, -karena belum sesuai dengan UU/PP- maka segeralah perbaiki kompetensi-kompetensi diri Anda yang masih kurang atau belum memenuhi syarat ideal. Karena jika ini tidak Anda lakukan, maka selamanya Anda akan dihantui perasaan bersalah dan penyesalan. Alasannya pertama, saat ini Anda harus benar-benar menyadari bahwa ditangan guru-guru seperti Andalah inilah generasi muda dan masa depan bangsa ini dipertaruhkan. Baik jeleknya kepribadian mereka, cerdas tidaknya otak mereka, berprestasi atau terpuruknya mereka, maka Anda turut andil di dalamnya. Kedua, bagi yang sudah PNS dan memperoleh tunjangan profesi pendidik, tentunya Anda saat ini telah mendapatkan reward yang cukup layak bahkan lebih dari cukup. Maka sudah sewajarnya dan seharusnya Anda lebih semangat, lebih rajin, lebih giat dan lebih profesional lagi dalam menjalankan tugas jabatan Anda. Akan tetapi bila ternyata meningkatkanya kesejahteraan yang telah diperoleh ini tidak segaris lurus dengan meningkatnya kinerja dan profesionalisme Anda, maka terlalu banyak sekali pihak-pihak yang telah Anda rugikan dan Anda kecewakan. Tentunya bukan hanya pihak-pihak yang ada di bumi tapi juga ‘pihak-pihak’ yang ada di langit.
Idealisme diatas bukanlah sesuatu yang utopis (tak mungkin tercapai) atau sekedar mimpi penyelenggara negara di siang bolong untuk memajukan pendidikan di negara kita ini. Tetapi idealisme ini adalah merupakan suatu keniscayaan cita-cita yang konkrit, yang bisa tercapai dengan usaha keras, usaha cerdas dan usaha ikhlas semua pihak pada umumnya dan guru itu sendiri khususnya. Memang berat dan sulit, tetapi sekali lagi pilihlah prinsip hidup sulit tapi bisa. Maka sesulit apapun pekerjaan itu akan mampu kita selesaikan karena kita telah menjadi manusia yang optimis dengan prinsip itu. [pasuruan, 13/01/2012]




[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Guru
[2] http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/11/kualitas-guru/
[3] http://roebyarto.multiply.com/journal/item/14?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
[4] http://desireminsa.multiply.com/journal/item/3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Recent Comments

Introduction

Recent Posts

Pages