Jumat, 20 Januari 2012

Jadilah Guru Wifi



Wi-Fi merupakan kependekan dari Wireless Fidelity, yang memiliki pengertian yaitu kumpulan standar yang digunakan untuk Jaringan Lokal Nirkabel (Wireless Local Area Networks - WLAN) yang didasari pada spesifikasi IEEE 802.11. Standar terbaru dari spesifikasi 802.11a atau b, seperti 802.11 g, saat ini sedang dalam penyusunan, spesifikasi terbaru tersebut menawarkan banyak peningkatan mulai dari luas cakupan yang lebih jauh hingga kecepatan transfernya. Awalnya Wi-Fi ditujukan untuk penggunaan perangkat nirkabel dan Jaringan Area Lokal (LAN), namun saat ini lebih banyak digunakan untuk mengakses internet.[1]

Tingginya animo masyarakat --khususnya di kalangan komunitas Internet-- menggunakan teknologi Wi-Fi dikarenakan paling tidak dua faktor. Pertama, kemudahan akses. Artinya, para pengguna dalam satu area dapat mengakses Internet secara bersamaan tanpa perlu direpotkan dengan kabel. Menjamurnya hotspot di tempat-tempat tersebut --yang dibangun oleh operator telekomunikasi, penyedia jasa Internet bahkan orang perorangan-- dipicu faktor kedua, yakni karena biaya pembangunannya yang relatif murah atau hanya berkisar 300 dollar Amerika Serikat.[2]
            Seorang guru adalah seorang pengajar sekaligus pendidik yang mentransfer ilmu, pengetahuan, dan juga nilai-nilai moral-akhlak yang terkandung di dalamnya. Dia harus mampu menyampaikan materi-materi pelajaran kepada anak didiknya dengan baik, dan tak lupa memberikan muatan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Di dalam kelas, seorang guru bisa dengan leluasa menunjukkan berbagai macam nhlai-nilai kebaikan yang harus diterapkan oleh anak didiknya dalam kehidupan sehari-hari. Namun, di luar kelas, dia pun juga seharusnya mampu dengan leluasa pula mempraktekkan bagaimana nilai-nilai kebaikan itu terjadi dalam kehidupan nyata. Artinya guru itu sendiri menjadi suri tauladan yang pertama kali dilihat oleh anak seketika keluar dari ruangan kelas.
Sungguh ironis sekali, jika misalnya ada seorang guru yang berteriak-teriak mendisiplinkan anak didiknya agar tidak terlambat datang ke sekolah, namun si guru sendiri datang ke kelas sering terlambat. Dan yang lebih parah lagi, kalau misalnya di sekolah telah ada tata tertib siswa di larang merokok, tetapi gurunya dengan santai merokok di lingkungan sekolah dan dilihat oleh siswa-siswanya. Jelas guru ini seorang pengajar tetapi bukan seorang pendidik.
Bukankah dalam Undang-undang No 14  tahun 2005  tentang Guru dan Dosen pasal 10 dan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 28, disebutkan bahwa guru yang berkualitas harus memiliki empat kompetensi, dan salah satunya adalah kompetensi kepribadian. Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Kepribadian yang mantap dari sosok seorang guru akan memberikan teladan yang baik terhadap anak didik maupun masyarakatnya, sehingga guru akan tampil sebagai sosok yang patut “digugu” (ditaati nasehat/ucapan/perintahnya) dan “ditiru” (di contoh sikap dan perilakunya). Kepribadian guru merupakan faktor terpenting bagi keberhasilan belajar anak didik.
Dalam kaitan ini, Zakiah Darajat dalam Syah (2000* 225-226)  menegaskan bahwa kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi masa depan anak didiknya terutama bagi anak didik yang masih kecil (tingkat dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa (tingkat menengah).[3]
Bila Anda adalah seorang guru, jadilah seorang guru yang berperan dan berfungsi seperti Wireless Fidelity atau Wifi. Guru yang baik ibaratnya perangkat wifi. Ketika sang guru sudah siap memulai dan menjalankan pekerjaannya, maka dia secara otomatis akan memberikan akses-akses (jaringan-jaringan) kebaikan-kebaikan yang tak terhingga –berupa data, informasi, ilmu pengetahuan, hiburan dan segala informasi terkini yang ada di seluruh dunia- kepada siapapun yang membutuhkan. Tanpa diskriminasi dan tanpa ‘pandang bulu’ siapapun yang mengakses, apakah si anak didik tersebut dari keluarga kaya atau miskin, ataukah anak tersebut IQ tinggi atau rendah, semua mendapat kesempatan akses yang sama. Dan akses segala macam informasi tersebut diberikan, dimanapun dan kapanpun si pengakses berada, selama ada dalam jangkauan.
Kecepatan dalam mengakses segala informasi yang dibutuhkan ibaratnya kompetensi kepribadian dari seorang guru. Tergantung spesifikasinya 802.11a atau 802.11b atau 802.11g atau 802.11n. Semakin tinggi spesifikasinya maka semakin cepat akses informasinya. Demikian pula kepribadian seorang guru, semakin mantap, semakin mulia akhlak, dan semakin arif bijaksana maka semakin cepat anak didiknya mendapatkan akses dan pengaruh darinya. Bisa dipastikan pula, semakin tinggi kepribadian yang ditampakkan oleh seorang guru, pasti semakin banyak dan luas pula yang mengikuti (khususnya bagi siswa-siswanya).
Guru wifi pun pasti nirkabel (tanpa kabel), maksudnya guru tersebut pasti tidak membutuhkan berbagai macam persyaratan atau bahkan berbagai jenis pujian untuk memberikan segala macam akses (manfaat) kebaikan yang dibutuhkan. Anak didik bisa menikmati dan mendapatkan ilmu pengetahuan beserta nilai-nilai kehidupan yang ada didalamnya tanpa lika-liku birokrasi dan tanpa banyak memberikan banyak persyaratan. Hanya kemudahan dan kemudahan yang anak didik alami dalam proses belajar di kehidupannya.
Guru wifi bukannya tanpa keterbatasan. Salah satu batasnya adalah adalah ketika sang Pemilik wifi menekan tombol off atau mematikan aliran listriknya. Demikian juga guru wifi hanya akan berhenti memberikan manfaat ketika Sang Pemiliknya mematikan dia. Maka tugas dia pun selesai dengan sempurna. Dan semoga saat itu adalah khusnul khotimah sang guru wifi. Amin. (pasuruan, 16 Januari 2012)


[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Wi-Fi
[2] www.analysys.com
[3] http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/11/kualitas-guru/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Recent Comments

Introduction

Recent Posts

Pages