Wi-Fi merupakan
kependekan dari Wireless Fidelity, yang memiliki pengertian yaitu kumpulan standar yang digunakan untuk Jaringan Lokal Nirkabel (Wireless
Local Area Networks - WLAN) yang didasari pada spesifikasi IEEE 802.11. Standar
terbaru dari spesifikasi 802.11a atau b, seperti 802.11 g, saat ini sedang
dalam penyusunan, spesifikasi terbaru tersebut menawarkan banyak peningkatan
mulai dari luas cakupan yang lebih jauh hingga kecepatan transfernya. Awalnya
Wi-Fi ditujukan untuk penggunaan perangkat nirkabel dan Jaringan Area Lokal
(LAN), namun saat ini lebih banyak digunakan untuk mengakses internet.[1]
Tingginya
animo masyarakat --khususnya di kalangan komunitas Internet-- menggunakan
teknologi Wi-Fi dikarenakan paling tidak dua faktor. Pertama, kemudahan akses.
Artinya, para pengguna dalam satu area
dapat mengakses Internet secara bersamaan tanpa perlu direpotkan dengan kabel.
Menjamurnya hotspot di tempat-tempat tersebut --yang dibangun oleh operator
telekomunikasi, penyedia jasa Internet bahkan orang perorangan-- dipicu faktor kedua, yakni karena biaya pembangunannya yang relatif murah atau hanya
berkisar 300 dollar Amerika Serikat.[2]
Seorang guru adalah seorang pengajar
sekaligus pendidik yang mentransfer ilmu, pengetahuan, dan juga nilai-nilai moral-akhlak
yang terkandung di dalamnya. Dia harus mampu menyampaikan materi-materi
pelajaran kepada anak didiknya dengan baik, dan tak lupa memberikan muatan nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya. Di dalam kelas, seorang guru bisa dengan leluasa
menunjukkan berbagai macam nhlai-nilai kebaikan yang harus diterapkan oleh anak
didiknya dalam kehidupan sehari-hari. Namun, di luar kelas, dia pun juga seharusnya
mampu dengan leluasa pula mempraktekkan bagaimana nilai-nilai kebaikan itu
terjadi dalam kehidupan nyata. Artinya guru itu sendiri menjadi suri tauladan
yang pertama kali dilihat oleh anak seketika keluar dari ruangan kelas.
Sungguh
ironis sekali, jika misalnya ada seorang guru yang berteriak-teriak
mendisiplinkan anak didiknya agar tidak terlambat datang ke sekolah, namun si
guru sendiri datang ke kelas sering terlambat. Dan yang lebih parah lagi, kalau
misalnya di sekolah telah ada tata tertib siswa di larang merokok, tetapi gurunya
dengan santai merokok di lingkungan sekolah dan dilihat oleh siswa-siswanya.
Jelas guru ini seorang pengajar tetapi bukan seorang pendidik.
Bukankah dalam
Undang-undang No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 10
dan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
pasal 28, disebutkan bahwa guru yang berkualitas harus memiliki empat
kompetensi, dan salah satunya adalah kompetensi
kepribadian. Kompetensi
kepribadian adalah kemampuan
kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi
teladan peserta didik. Kepribadian
yang mantap dari sosok seorang guru akan memberikan teladan yang baik terhadap
anak didik maupun masyarakatnya, sehingga guru akan tampil sebagai sosok yang
patut “digugu” (ditaati nasehat/ucapan/perintahnya) dan “ditiru” (di contoh
sikap dan perilakunya). Kepribadian guru merupakan faktor terpenting bagi
keberhasilan belajar anak didik.
Dalam kaitan ini, Zakiah Darajat dalam Syah (2000* 225-226)
menegaskan bahwa kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi
pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak
atau penghancur bagi masa depan anak didiknya terutama bagi anak didik yang
masih kecil (tingkat dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa
(tingkat menengah).[3]
Bila Anda
adalah seorang guru, jadilah seorang guru yang berperan dan berfungsi seperti Wireless
Fidelity atau Wifi. Guru yang baik ibaratnya perangkat wifi. Ketika sang guru
sudah siap memulai dan menjalankan pekerjaannya, maka dia secara otomatis akan
memberikan akses-akses (jaringan-jaringan) kebaikan-kebaikan yang tak terhingga
–berupa data, informasi, ilmu
pengetahuan, hiburan dan segala informasi terkini yang ada di seluruh dunia-
kepada siapapun yang membutuhkan. Tanpa diskriminasi dan tanpa ‘pandang bulu’ siapapun
yang mengakses, apakah si anak didik tersebut dari keluarga kaya atau miskin, ataukah
anak tersebut IQ tinggi atau rendah, semua mendapat kesempatan akses yang sama.
Dan akses segala macam informasi tersebut diberikan, dimanapun dan kapanpun si
pengakses berada, selama ada dalam jangkauan.
Kecepatan
dalam mengakses segala informasi yang dibutuhkan ibaratnya kompetensi
kepribadian dari seorang guru. Tergantung spesifikasinya 802.11a atau 802.11b
atau 802.11g atau 802.11n. Semakin tinggi spesifikasinya maka semakin cepat
akses informasinya. Demikian pula kepribadian seorang guru, semakin mantap,
semakin mulia akhlak, dan semakin arif bijaksana maka semakin cepat anak
didiknya mendapatkan akses dan pengaruh darinya. Bisa dipastikan pula, semakin
tinggi kepribadian yang ditampakkan oleh seorang guru, pasti semakin banyak dan
luas pula yang mengikuti (khususnya bagi siswa-siswanya).
Guru wifi
pun pasti nirkabel (tanpa kabel),
maksudnya guru tersebut pasti tidak membutuhkan berbagai macam persyaratan atau
bahkan berbagai jenis pujian untuk memberikan segala macam akses (manfaat)
kebaikan yang dibutuhkan. Anak didik bisa menikmati dan mendapatkan ilmu
pengetahuan beserta nilai-nilai kehidupan yang ada didalamnya tanpa lika-liku
birokrasi dan tanpa banyak memberikan banyak persyaratan. Hanya kemudahan dan
kemudahan yang anak didik alami dalam proses belajar di kehidupannya.
Guru wifi
bukannya tanpa keterbatasan. Salah satu batasnya adalah adalah ketika sang
Pemilik wifi menekan tombol off atau mematikan aliran listriknya. Demikian juga
guru wifi hanya akan berhenti memberikan manfaat ketika Sang Pemiliknya
mematikan dia. Maka tugas dia pun selesai dengan sempurna. Dan semoga saat itu
adalah khusnul khotimah sang guru
wifi. Amin. (pasuruan, 16 Januari 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar