Jumat, 01 Juni 2012

Ternyata.. Aku Seorang Koruptor




Korupsi dalam Beberapa Pengertian
Korupsi berasal dari bahasa latin; corruptio. Turunan dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Sedangkan secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan illegal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.[1]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain.
Menurut M. Syamsa Ardisasmita, Deputi Bidang Informasi & Data KPK, definisi korupsi tercakup oleh 13 Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ada 30 bentuk/jenis korupsi yang dijabarkan di sana. Baik menyangkut perbuatan yang menyebabkan kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan harta dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan barang, dan gratifikasi. Pengertian atau Definisi Korupsi (UU no.31 th.1999 jo UU no.20 th.2001) dalam pasal 2 dinyatakan bahwa Korupsi adalah: (1.) perbuatan melawan hukum (2.) dengan maksud memperkaya diri sendiri atau orang lain (3.) ‘dapat’ merugikan keuangan atau perekonomian negara.

Tim penulis buku Koruptor Itu Kafir: Telaah Fiqih Korupsi Dalam Muhammadiyah & Nahdlatul Ulama (NU) yang terdiri dari Majelis Tarjih & Tajdid PP Muhammadiyah dan Tim Kerja Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi PBNU ini mengungkapkan bahwa kosakata korupsi memang tidak termaktub secara eksplisit di dalam khazanah hukum Islam. Dilihat dari artinya sebagai tindakan mencuri atau mengambil harta pihak lain secara tidak sah, korupsi semakna dengan konsep sariqah (mencuri). Sedangkan bila ditengok dari sisi pendekatan kekuasaan, korupsi dapat digolongkan sebagai risywah (suap). Tapi risywah lebih mencakup daripada hanya sekedar suap. Sebab risywah terjadi tidak cuma di kalangan pejabat, tetapi juga di tingkat rakyat. Apalagi jika menyangkut hubungan timbal-balik antara keduanya dalam penciptaan kemudahan urusan publik, transaksi politik jual-beli suara dalam Pemilu, atau hanya sekedar pemberian uang rokok dalam penyelesaian adiministrasi KTP.

Pandangan dan Sikap Islam
Pandangan dan sikap Islam terhadap korupsi sangat tegas: haram dan melarang. Korupsi dinilai sebagai tindakan pengkhianatan dari amanat yang diterima dan pengrusakan yang serius terhadap bangunan sistem yang akuntabel. Oleh karena itu, baik al- Qur'an, al-Hadits maupun ijmâ' al- 'ulamâ menunjukkan pelarangannya secara tegas (sharih).
Dalam al-Qur'an, misalnya, dinyatakan: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan cara batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (cara berbuat) dosa padahal kamu mengetahui.” Dalam ayat yang lain disebutkan: “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara batil, kecuali dengan cara perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu…”
Sedangkan dalam al-Hadits lebih konkret lagi, dinyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Allah melaknati penyuap dan penerima suap dalam proses hukum.” Dalam redaksi lain, dinyatakan: “Rasulullah SAW melaknati penyuap, penerima suap, dan perantara dari keduanya.” Kemudian dalam kesempatan yang berbeda, Rasulullah SAW bersabda: “penyuap dan penerima suap itu masuk ke neraka.” Ibn Qudamah dalam al-Mughnî menjelaskan bahwa “memakan makanan haram” itu identik dengan korupsi. Zamakhsyari dalam tafsir al-Kasysyaf juga menyebut hal yang sama. Umar Ibn Khaththab berkata: “menyuap seorang hakim” adalah tindakan korupsi.
Dalam sejarah Islam sering dikutip kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, salah seorang Khalifah Bani Umayyah, sebagai prototipe Muslim anti korupsi. Umar bin Abdul Aziz adalah figur extra-ordinary, suatu figur unik di tengah-tengah para pemimpin yang korup dalam komunitas istana. Ia sangat ketat mempertimbangkan dan memilah-milah antara fasilitas negara dengan fasilitas pribadi dan keluarga. Keduanya tidak pernah dan tidak boleh dipertukarkan (changeble). Pada suatu malam, Khalifah Umar bin Abdul Aziz berada di kamar istana melakukan sesuatu berkaitan dengan urusan negara. Tiba-tiba salah seorang anaknya mengetuk pintu ingin menemui bapaknya. Sebelum masuk, ditanya oleh Khalifah, “Ada apa Anda malam-malam ke sini?”. “Ada yang ingin dibicarakan dengan bapak”, jawab anaknya. “Urusan keluarga atau urusan negara?” tanya balik Khalifah. “Urusan keluarga,” tegas anaknya. Seketika itu, Khalifah mematikan lampu kamarnya dan mempersilakan anaknya masuk. “Lho, kok lampunya dimatikan,” tanya anaknya sambil keheranan. “Ini lampu negara, sementara kita mau membicarakan urusan keluarga, karena itu tidak boleh menggunakan fasilitas negara,” demikian jawab Khalifah. Sang anakpun mengiyakannya.
Itulah sekelumit cerita tentang Khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam upayanya untuk menegakkan good qovernance, melalui sikap-sikap yang akuntabel dan menghindari pemanfaatan fasilitas negara untuk kepentingan diri, kelompok, dan keluarganya. Adakah pemimpin sekarang seperti Umar bin Abdul Aziz?

Ternyata.. Aku Seorang Koruptor
            Membaca beberapa pengertian korupsi di atas, baik dari sudut pandang hukum negara maupun hukum Allah, membuatku tersentak sekaligus tersadar. Apalagi ditambah contoh konkrit dari seorang Khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang mampu membedakan antara pemakaian fasilitas negara dengan fasilitas pribadi dan sekaligus menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sungguh..membuat hati ini malu. Bagaimana tidak? Bila selama menjadi seorang guru di sebuah madrasah negeri, aku sering memanfaatkan fasilitas madrasah (baca: negara) untuk kepentingan pribadiku sendiri. Misal: menggunakan fasilitas wifi milik madrasah untuk kepentingan pribadi, semacam update status di facebook, membalas email, memposting beberapa artikel di web/blog pribadi, download beberapa artikel/lagu/video dan lain-lain yang memang tidak ada hubungannya dengan kepentingan sebagai guru. Bukankah ini sebuah tindakan korupsi?
            Kadang aku pun juga pernah memanfaatkan fasilitas telpon madrasah (baca: negara) untuk menerima/menelpon keluarga/kolega yang tidak ada hubungannya dengan TUPOKSI guru. Kadang aku juga memakai fasilitas printer/kertas/komputer/laptop madrasah (baca: negara) untuk kepentingan pribadi, yang seharusnya hanya digunakan untuk kepentingan madrasah. Dan tentu masih banyak lagi fasilitas-fasilitas lain yang tersedia di madrasah, namun sering aku manfaatkan untuk keperluan pribadi yang tak ada kaitannya dengan program madrasah. Bukankah aku layak dikatakan sebagai seorang koruptor?
            Dan ditambah lagi dengan sering tidak amanahnya diriku dalam menjalankan profesi sebagai guru. Aku sekarang sering terlambat datang ke madrasah, dan pulang sering lebih awal. Tapi tiap 2 bulan selalu berharap LP tetap utuh diterima, tanpa mau dikurangi meski satu rupiah. Kadang masuk kelas pun sering terlambat 5-10 menit, namun keluar ruang kelas minta pas sesuai dengan jadwal yang ada. Tapi gajian per bulan, selalu menuntut tepat waktu dan tepat jumlah nominalnya. Kadang persiapan mengajar (RPP, Silabus, Assessment, Remidi, dan lain-lain) ala kadarnya, disiapkan hanya bila ada supervisi Pengawas/Kepala Madrasah. Tapi tunjangan profesi selalu berharap diberikan penuh, tanpa ada potongan apapun. Ahh..ternyata, aku memang seorang koruptor.
            Iya benar..karena secara hukum undang-undang negara, tindakanku ini sudah temasuk perbuatan yang merugikan pihak lain, menyelewengkan jabatan, memperkaya diri sendiri, dan menyalahgunakan amanat yang telah diberikan. Aku baru tersadar, telah berapa banyak uang negara yang telah kuhabiskan secara illegal untuk kepentingan diriku sendiri. Banyak orang telah kurugikan dengan sikapku yang korupt. Lebih parah lagi, bila dihadapkan dengan hukum Allah Swt. Pastinya aku telah melanggar apa yang telah Allah haramkan untuk kulakukan. Naudzubillah min dzalik. Jangan contoh diriku. Dan mulai detik ini, semoga kesadaran (pertaubatan) diri ini, menjadi langkah awal dan lembaran baru untuk melangkah lebih baik di esok hari. Hidup, bekerja dan beribadah tanpa korupsi. Kawan..do’akan aku ya!!!



@Pasuruan, 01 Juni 2012  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Recent Comments

Introduction

Recent Posts

Pages