Korupsi dalam Beberapa Pengertian
Korupsi berasal dari bahasa latin; corruptio. Turunan dari kata
kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Sedangkan secara harfiah, korupsi
adalah perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan illegal memperkaya diri atau memperkaya
mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang
dipercayakan kepada mereka.[1]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi adalah penyelewengan atau
penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang
lain.
Menurut M. Syamsa Ardisasmita, Deputi Bidang Informasi & Data KPK,
definisi korupsi tercakup oleh 13 Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang telah
diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ada 30 bentuk/jenis korupsi yang dijabarkan di sana. Baik menyangkut perbuatan
yang menyebabkan kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan harta
dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam
pengadaan barang, dan gratifikasi. Pengertian atau Definisi Korupsi (UU no.31 th.1999 jo
UU no.20 th.2001) dalam pasal 2 dinyatakan bahwa Korupsi
adalah: (1.) perbuatan melawan hukum (2.)
dengan maksud memperkaya diri sendiri atau orang lain (3.) ‘dapat’ merugikan
keuangan atau perekonomian negara.
Tim penulis buku Koruptor Itu Kafir:
Telaah Fiqih Korupsi Dalam Muhammadiyah &
Nahdlatul Ulama (NU) yang terdiri dari Majelis Tarjih & Tajdid
PP Muhammadiyah dan Tim Kerja Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi PBNU ini
mengungkapkan bahwa kosakata korupsi memang tidak termaktub secara eksplisit di
dalam khazanah hukum Islam. Dilihat dari artinya sebagai tindakan mencuri atau
mengambil harta pihak lain secara tidak sah, korupsi semakna dengan konsep sariqah (mencuri). Sedangkan bila ditengok dari sisi
pendekatan kekuasaan, korupsi dapat digolongkan sebagai risywah (suap). Tapi risywah lebih mencakup daripada
hanya sekedar suap. Sebab risywah terjadi
tidak cuma di kalangan pejabat, tetapi juga di tingkat rakyat. Apalagi jika
menyangkut hubungan timbal-balik antara keduanya dalam penciptaan kemudahan
urusan publik, transaksi politik jual-beli suara dalam Pemilu, atau hanya
sekedar pemberian uang rokok dalam penyelesaian adiministrasi KTP.
Pandangan dan Sikap Islam
Pandangan dan sikap Islam terhadap korupsi sangat
tegas: haram dan melarang. Korupsi dinilai sebagai tindakan pengkhianatan dari
amanat yang diterima dan pengrusakan yang serius terhadap bangunan sistem yang
akuntabel. Oleh karena itu, baik al- Qur'an, al-Hadits maupun ijmâ'
al- 'ulamâ menunjukkan pelarangannya secara tegas (sharih).
Dalam al-Qur'an, misalnya, dinyatakan: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta
sebagian yang lain di antara kamu dengan cara batil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada
harta benda orang lain itu dengan (cara berbuat) dosa padahal kamu mengetahui.”
Dalam ayat yang lain disebutkan: “Hai
orang-orang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara
batil, kecuali dengan cara perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di
antara kamu…”
Sedangkan dalam al-Hadits lebih konkret lagi,
dinyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Allah
melaknati penyuap dan penerima suap dalam proses hukum.” Dalam redaksi
lain, dinyatakan: “Rasulullah SAW
melaknati penyuap, penerima suap, dan perantara dari keduanya.” Kemudian
dalam kesempatan yang berbeda, Rasulullah SAW bersabda: “penyuap dan penerima suap itu masuk ke neraka.” Ibn Qudamah dalam al-Mughnî menjelaskan
bahwa “memakan makanan haram” itu identik dengan korupsi. Zamakhsyari dalam
tafsir al-Kasysyaf juga menyebut hal yang sama. Umar Ibn Khaththab berkata:
“menyuap seorang hakim” adalah tindakan korupsi.
Dalam sejarah Islam sering dikutip kepemimpinan Umar
bin Abdul Aziz, salah seorang Khalifah Bani Umayyah, sebagai prototipe Muslim anti korupsi. Umar bin
Abdul Aziz adalah figur extra-ordinary,
suatu figur unik di tengah-tengah para pemimpin yang korup dalam komunitas
istana. Ia sangat ketat mempertimbangkan dan memilah-milah antara fasilitas
negara dengan fasilitas pribadi dan keluarga. Keduanya tidak pernah dan tidak
boleh dipertukarkan (changeble). Pada
suatu malam, Khalifah Umar bin Abdul Aziz berada di kamar istana melakukan
sesuatu berkaitan dengan urusan negara. Tiba-tiba salah seorang anaknya
mengetuk pintu ingin menemui bapaknya. Sebelum masuk, ditanya oleh Khalifah, “Ada apa Anda malam-malam ke sini?”. “Ada yang ingin dibicarakan dengan bapak”,
jawab anaknya. “Urusan keluarga atau
urusan negara?” tanya balik Khalifah. “Urusan
keluarga,” tegas anaknya. Seketika itu, Khalifah mematikan lampu kamarnya
dan mempersilakan anaknya masuk. “Lho,
kok lampunya dimatikan,” tanya anaknya sambil keheranan. “Ini lampu negara, sementara kita mau
membicarakan urusan keluarga, karena itu tidak boleh menggunakan fasilitas
negara,” demikian jawab Khalifah. Sang anakpun mengiyakannya.
Itulah sekelumit cerita tentang Khalifah Umar bin
Abdul Aziz dalam upayanya untuk menegakkan good
qovernance, melalui sikap-sikap yang akuntabel dan menghindari pemanfaatan
fasilitas negara untuk kepentingan diri, kelompok, dan keluarganya. Adakah
pemimpin sekarang seperti Umar bin Abdul Aziz?
Ternyata.. Aku Seorang
Koruptor
Membaca beberapa pengertian korupsi di
atas, baik dari sudut pandang hukum negara maupun hukum Allah, membuatku
tersentak sekaligus tersadar. Apalagi ditambah contoh konkrit dari seorang
Khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang mampu membedakan antara pemakaian fasilitas
negara dengan fasilitas pribadi dan sekaligus menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari. Sungguh..membuat hati ini malu. Bagaimana tidak? Bila selama
menjadi seorang guru di sebuah madrasah negeri, aku sering memanfaatkan
fasilitas madrasah (baca: negara) untuk kepentingan pribadiku sendiri. Misal:
menggunakan fasilitas wifi milik madrasah untuk kepentingan pribadi, semacam
update status di facebook, membalas email, memposting beberapa artikel di
web/blog pribadi, download beberapa artikel/lagu/video dan lain-lain yang
memang tidak ada hubungannya dengan kepentingan sebagai guru. Bukankah ini
sebuah tindakan korupsi?
Kadang aku pun juga pernah
memanfaatkan fasilitas telpon madrasah (baca: negara) untuk menerima/menelpon
keluarga/kolega yang tidak ada hubungannya dengan TUPOKSI guru. Kadang aku juga
memakai fasilitas printer/kertas/komputer/laptop madrasah (baca: negara) untuk
kepentingan pribadi, yang seharusnya hanya digunakan untuk kepentingan
madrasah. Dan tentu masih banyak lagi fasilitas-fasilitas lain yang tersedia di
madrasah, namun sering aku manfaatkan untuk keperluan pribadi yang tak ada
kaitannya dengan program madrasah. Bukankah aku layak dikatakan sebagai seorang
koruptor?
Dan ditambah lagi dengan sering
tidak amanahnya diriku dalam menjalankan profesi sebagai guru. Aku sekarang sering
terlambat datang ke madrasah, dan pulang sering lebih awal. Tapi tiap 2 bulan
selalu berharap LP tetap utuh diterima, tanpa mau dikurangi meski satu rupiah. Kadang
masuk kelas pun sering terlambat 5-10 menit, namun keluar ruang kelas minta pas
sesuai dengan jadwal yang ada. Tapi gajian per bulan, selalu menuntut tepat
waktu dan tepat jumlah nominalnya. Kadang persiapan mengajar (RPP, Silabus,
Assessment, Remidi, dan lain-lain) ala kadarnya, disiapkan hanya bila ada
supervisi Pengawas/Kepala Madrasah. Tapi tunjangan profesi selalu berharap
diberikan penuh, tanpa ada potongan apapun. Ahh..ternyata, aku memang seorang
koruptor.
Iya benar..karena secara hukum
undang-undang negara, tindakanku ini sudah temasuk perbuatan yang merugikan
pihak lain, menyelewengkan jabatan, memperkaya diri sendiri, dan menyalahgunakan
amanat yang telah diberikan. Aku baru tersadar, telah berapa banyak uang negara
yang telah kuhabiskan secara illegal untuk kepentingan diriku sendiri. Banyak
orang telah kurugikan dengan sikapku yang korupt. Lebih parah lagi, bila
dihadapkan dengan hukum Allah Swt. Pastinya aku telah melanggar apa yang telah
Allah haramkan untuk kulakukan. Naudzubillah min dzalik. Jangan contoh diriku.
Dan mulai detik ini, semoga kesadaran (pertaubatan) diri ini, menjadi langkah
awal dan lembaran baru untuk melangkah lebih baik di esok hari. Hidup, bekerja
dan beribadah tanpa korupsi. Kawan..do’akan aku ya!!!
@Pasuruan,
01 Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar