Wajar dan
sudah sewajarnya, sebagai warga negara Republik Indonesia, bila saya rindu
generasi Pancasila. Suatu generasi yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila
sebagai pola pikir (think concept) dan
pola sikapnya (action concept) dalam
kehidupan sehari-hari. Bila mereka adalah pemimpin atau pejabat, maka mereka pemimpin/pejabat
berkarakter Pancasila. Bila menjadi rakyat, mereka pun berkarakter rakyat Pancasila.
Sungguh, saya benar-benar ingin menjadi bagian dalam generasi ini. Mengapa?
Dalih saya
sederhana, sesuai dengan materi Pendidikan Kewarganegaraan yang pernah saya
terima dibangku sekolah. Alasan pertama, karena Pancasila telah disepakati the founding fathers negara ini bahwa
Pancasila adalah pandangan hidup (way of
life) bangsa. Secara pribadi, saya yakin the founding fathers saat itu adalah manusia-manusia terbaik negeri
ini. Perjuangan mereka saat itu jauh dari upaya hanya sekedar urusan sepele,
seperti memperebutkan kekuasaan atau kursi jabatan antar sesama warga NKRI. Ketulusan
hati, semangat perjuangan dan ikhlasnya pengorbanan mereka lebih fokus untuk kemerdekaan
negara ini dari penjajahan.
Alasan kedua,
karena Pancasila adalah dasar negara sebagai prasyarat sebagai negara merdeka. Alasan
terakhir, karena Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum dalam tata
perundang-undangan dan derivat (turunan)
produk-produk hukum dibawahnya. Oleh karena itu, sebagai warga negara yang
baik, tentu hubungan pribadi dan sosial dalam bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara haruslah senantiasa berlandaskan Pancasila. Dengan alasan ini, saya benar-benar
rindu generasi Pancasila.
Akan
tetapi, sepertinya tidak banyak yang merasakan kerinduan ini? Yang merasakan
saja tidak banyak, apalagi yang menikmati, hanya segelintir orang. Saya bisa
membuktikannya. Contohnya: ketika ngobrol-ngobrol
ringan tentang fakta-fakta dan gosip-gosip
dunia pendidikan, politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain baik di kantor
ataupun di kantin, sangat jarang sekali yang mengkaitkan antara fakta/gosip yang terjadi dengan nilai-nilai
Pancasila. Begitu juga, berbagai macam tulisan, ulasan, opini dan laporan dari ratusan
wartawan, jurnalis, tokoh Parpol/Ormas, pejabat pemerintah, wakil rakyat
anggota DPR/DPRD, dan pemerhati/pengamat
berbagai macam problematika yang setiap detik muncul di media cetak (koran/majalah),
elektronik (televisi/radio), jejaring sosial (facebook/twitter) justru juga jarang sekali mengulas peran penting
Pancasila sebagai pokok pembahasan permasalahan.
Seakan-akan
nilai-nilai Pancasila tidak terlalu penting untuk dijadikan rujukan, padahal Pancasila
adalah dasar negara, pandangan hidup bangsa dan sumber dari segala sumber hukum.
Sepertinya nilai-nilai Pancasila cukuplah menjadi jawaban atas pertanyaan yang
muncul di lembaran soal/ujian-ujian anak sekolah maupun tes PNS dan sumpah
jabatan. Bukan sebagai jawaban utama atas problematika mendasar permasalahan
hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Apakah
Anda pernah menemukan orang yang berpendapat bahwa maraknya terjadi kasus
narkoba adalah karena penggunanya tidak berjiwa Pancasila? Apakah Anda pernah
tahu terkuaknya kasus-kasus korupsi pejabat negara maupun pejabat parpol adalah
dikarenakan mereka tidak benar-benar paham isi dan mengamalkan nilai-nilai
Pancasila? Susah rasanya mendapatkan informasi dan argumentasi yang kuat dan
logis dari beberapa ahli, orang-orang yang pintar/hebat, yang menyandarkan
sekaligus menyadarkan masyarakat bahwa akar dari segala permasalahan yang terjadi di negeri ini dikarenakan kita sering
melupakan Pancasila. Bahkan calon Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Djafar Albram
ketika menjalani fit and proper test
di Komisi III DPR tak disangka lupa isi Pancasila. Albram salah mengucapkan
sila kedua dan keempat Pancasila. “Dua, perikemanusiaan yang adil dan beradab.
Empat, kemanusiaan yang dipimpin oleh hikmat permusyawaratan dan keadilan,”
ujarnya. (Jawa Pos, Selasa 5 Maret 2013)
Benar kata
peribahasa sederhana, “Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta dan
tak cinta maka tak rindu.” Bagaimana bisa dikenal bila peran penting Pancasila
tidak disayang (baca: dibicarakan dan menjadi ‘buah bibir’) selalu. Bagaimana
bisa selalu disayang dan dicinta bila dalam berargumentasi dan berdalil,
Pancasila tidak menjadi referensi atau bahan rujukan utama. Lalu bagaimana bisa
dirindu hadirnya nilai-nilai Pancasila ditengah-tengah masyarakat, bila tidak
dipraktekkan secara total.
‘Melahirkan’
generasi Pancasila mudah diucapkan, akan tetapi sangat mudah untuk
dipraktekkan. Seperti yang sudah saya sampaikan di atas, kita tidak akan pernah
rindu Pancasila jika sangat jarang sekali menjadikannya sebagai referensi dan
solusi. Warga negara ini tidak akan pernah memiliki rasa sayang terhadap
ideologinya ini, bila pemimpin-pemimpinya menyampaikan Pancasila hanya untuk
urusan formal. Sedangkan untuk urusan non-formal, nilai-nilai Pancasila
dikesampingkan.
Generasi
muda-mudi bangsa ini juga tidak akan mengenal dan familiar, apalagi merasa memiliki (sense of belonging), jika informasi dan argumentasi yang
senantiasa mereka dengar, lihat dan baca tidak sedikitpun menyinggung peran
penting Pancasila di dalamnya. Mereka hanya tahu teori ideologi Pancasila dan
penjelasan-penjelasannya, hanya di buku-buku pelajaran. Oleh karenanya, rumus
3M yang dipopulerkan Aa Gym, layak untuk kita gunakan demi Pancasila yang
dirindukan. 3M itu adalah Mulailah dari diri sendiri, Mulailah dari yang kecil
dan Mulailah dari saat ini. Mari kita jadikan Pancasila sebagai bahan dan
referensi/rujukan diskusi, obrolan sana-sini, argumentasi dan dalil yang kuat
dan berisi dari segala permasalahan yang menimpa negeri tercinta ini. Kalau
tidak, tentu akan sangat lama kerinduan ini akan terobati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar