KETULUSAN YANG (TIDAK)
TERKAMUFLASE
***iklan cerita***
KETULUSAN YANG (TIDAK)
TERKAMUFLASE; adalah judul saya dari edisi on air “life inspiration”
yang ke 68, hari ini, Selasa, 05 Juli 2011. Seperti biasa dari jam 5.00 sampai
jam 6.00, di radio Ramapati 93,00 fm Pemkot Pasuruan. Dan saya sekarang kembali
ditemani oleh moderator ‘langit’, yaitu Gus Nadeem Porter Pasar Induk. Selamat
membaca…!!!
***langsung ke tema***
Alhamdulillah,
sudah hampir setahun setengah (18 bulan = 540 hari) lamanya, penulis menjadi
salah satu pengisi tetap acara di radio ini. Ada seseorang yang paling membuat
penulis berkesan dan merasa berhutang budi banget kepadanya. Yah…karena atas
jasa beliau yang dengan sangat setia menyambut dan melayani, penulis akhirnya
bisa tetap eksis menebarkan energi-energi positifnya di tengah-tengah
masyarakat Kota Pasuruan dan sekitarnya.
Beliau telah
dengan sangat sabar menunggu kedatangan penulis untuk mengisi acara ini dan
sekaligus ‘mengisi’ hati beliau. (karena kata moderator, diam-diam beliau
nge-fans lho sama acara ini…alhamdulillah). Berbagai pengalaman hidup pun
akhirnya mengalir, mengiringi pertemanan penulis dengan beliaunya.
Sering sekali
beliau sudah siap sedia di pintu menyambut penulis dengan senyum merekah.
Seragamnya yang khas ‘santri’ Kota
Pasuruan menutupi usia beliau yang sudah setengah abad lebih. Dan itu berarti
perangkat keras dan perangkat lunak di studio untuk on air sudah siap ‘take
off’ (baca: dipake). Ahh..penulis gak bisa memberi banyak sesuatu kepada
beliau, tapi hanya bisa ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya.
Namun ada juga
kisah lucunya, yaitu saat terkadang penulis lihat dari luar pintu yang masih
terkunci rapat, beliau masih lagi nyenyak tidur beralas tikar (hmmm…hari
gini, tidurnya masih seperti se-abad yang lalu…subhanallah), tidur nyaman
dengan satu bantal, disampingnya ada segelas kopi yang terlihat sudah kering,
asbak tempat rokok, dan tas kesayangan beliau yang setia menemani.
Tak lupa
berselimut sarung kumal yang selalu melindungi sekujur badannya yang kurus. Dan
tidurnya pun di ruang dalam, pas di tengah-tengah pintu masuk radio. Jadi
sangat kelihatan jelas dari luar. Dan ketika penulis bangunkan, beliau langsung
terlihat tergopo-gopoh bangun, lalu merapikan peraduan sederhananya dan membuka
pintu untuk penulis. (Hehehe…maaf ya..jadi ganggu mimpinya…).
Beliau dikenal
luas di seantero jagat Kota-Kabupaten Pasuruan dengan panggilan K A K E K.
Entah nama aslinya siapa, penulis juga belum tahu. Selain sebagai staff penjaga
malam di radio, ternyata beliau juga seorang penyiar ‘kawakan’ (baca:
professional). Hal ini dibuktikan dengan banyaknya fans pendengar beliau yang
masuk ketika beliaunya siaran di radio swasta lain.
Kisah di atas
adalah pengalaman penulis langsung dari hari ke hari, minggu ke minggu dan
bulan ke bulan. Dan sekali lagi hari ini sudah berjalan setahun setengah.
Akhirnya penulis dibuat berkesan sekaligus kagum kepada kakek.
Bagaimana
tidak kagum, jika ternyata tidak pernah sekalipun kakek mengeluh kepada penulis
atas kedatangan penulis di pagi-pagi buta. Bagaimana tidak kagum, jika untuk
acara-acara yang bermanfaat banget seperti ini, ternyata gaji kakek hanya Rp.
150 ribu per bulan. (sekaligus upah jaga malam di studio..hmm..masya
Allah..)
Bagaimana
tidak kagum, jika ternyata dengan gaji sekecil itu, kakek tidak pernah
meminta-minta ke penulis ‘ceperan/tips’ untuk membuka pintu di pagi hari.
Bagaimana tidak kagum, jika untuk menjaga keutuhan gedung radio itu, ternyata
kakek tidur layaknya pengemis jalanan.
Sekali lagi
pengalaman penulis ini telah berjalan satu tahun setengah, padahal kakek telah
bekerja semenjak radio ini ada puluhan tahun yang lalu.
Aneh ya… meski
itu semua tidak terpikirkan, namun kakek tetap saja amanah dan istiqomah dalam pekerjaannya. Anehhh
banget, besar jasanya tapi kecil rewardnya..(eh..aneh atau sudah biasa ya?
Kayaknya sudah biasa sich…hehehe..lucunya negeriku).
Subhanallah…saat
ini penulis dengan sangat jelas diberikan contoh nyata akan makna sebenarnya
dari kata KETULUSAN. Yapz..Ketulusan yang benar-benar “pure” (baca: asli) tidak
sintetis (baca: palsu). Ketulusan sepenuh hati yang hanya dimiliki oleh
orang-orang yang tidak terlalu me-NOMOR SATU-kan argument, opini, penghargaan,
reward, balasan duniawi ataupun pujian dari sesama untuk mempraktekkannya.
Mereka bagaikan cahaya lampu yang dengan tulus ikhlas menerangi ruang
sekitarnya. Semakin tulus semakin terang cahayanya, semakin luas pula
manfaatnya. Orang yang selalu mengutamakan ketulus-ikhlasan dalam setiap amal
perbuatannya, pasti akan memiliki banyak teman. Pasti banyak yang admiring (baca:
mengagumi). (Bagi yang bener-bener tahu sich dan bisa membedakan mana
ketulusan pure mana yang sintetis).
Dan perlu
diketahui bahwa ketulusan itu tidak berbanding lurus dengan balasan harta. Yang
ada justru, ketulusan itu ‘dihargai’ sangat murah oleh sesama manusia, yang
dipandang sebelah mata atas perannya yang sebenarnya amat sangat luar biasa.
Akan tetapi, bagi orang-orang beriman, ketulusan itu pasti ‘dihargai’ sangat
mahal oleh Allah Swt.
Penulis jadi ingat benar, bagaimana Rasulullah Saw
sendiri mempraktekkan nilai ketulusan ini dengan sangat sempurna. Begini
kisahnya; Rasulullah Saw mempunyai kebiasaan di luar orang-orang ‘normal’,
yaitu menyuapi makanan untuk seorang Yahudi (jelas bukan muslim) buta di
pasar tiap pagi hari. Padahal dengan jelas, yang dilakukan sehari-hari oleh si
buta ini, hanyalah mencaci maki – menghina – menuduh – memfitnah Rasulullah
Saw. Namun ternyata Rasulullah Saw tidak marah, justru sebaliknya, setiap pagi
hari Beliau membawakan makanan untuk dia, makanan dan susu.
Makanan yang
mau diberikan, dikunyah hingga halus dulu dengan mulut Beliau, baru kemudian
disuapin pada si Yahudi buta itu. Subhanallah….kebiasaan yang tidak biasa ini,
dilakukan Rasulullah Saw berhari-hari dengan istiqomah hingga Beliau wafat.
Hmmm… betapa luar biasanya tingkat ketulusan yang dipraktekkan secara nyata
oleh Rasulullah Saw. Ketulusan sepenuh hati…
Ketulusan yang asli-murni, tidak palsu, tidak berharap
pujian dari manusia, publikasi besar-besaran di berbagai media, popularitas
atau imbalan suara pemilih, dan lain sebagainya. Inilah ketulusan yang
sebenar-benarnya, yaitu sebuah amal perbuatan baik yang dilakukan sepenuh hati,
ikhlas hanya karena Allah Swt (bukan yang lain) dan cara yang dipraktekkan
benar sesuai perintah Allah dan Rasul-Nya.
Namun sayangnya…arti, makna dan praktek ketulusan di
atas, sekarang ini seakan-akan tidak membekas di hati kebanyakan umat Islam
sendiri. Samar-samar dan semakin tidak kelihatan esensi dari makna kata
ketulusan sesungguhnya. Ketulusan itu sudah “terkamuflase”.
Silakan
perhatikan sendiri baik di media cetak maupun elektronik…betapa banyak
publikasi, iklan, promosi, tebar pesona (baca: narsis) yang membangga-banggakan
berbagai macam kebaikan-kebaikan yang telah mereka kerjakan. Apalagi, bila
pemberitaan itu berkaitan dengan berbagai macam kepentingan-kepentingan
politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Narsis…habissss…
Di satu sisi
mereka menunjukkan kebaikan mereka kepada masyarakat luas, tetapi disisi yang
lain mereka merampok uang rakyat, mengkorupsi pajak, merusak alam demi
kepentingan pribadi, dan sebagainya. Ironis… ketika ketulusan hanyalah sebuah
pemanis buatan.. :(
Apalagi ketika
bulan Ramadhan yang sebentar lagi hadir di tengah-tengah kita. Kita akan bisa
lebih jelas lagi menyaksikan, bagaimana para artis-artis berbondong-bondong
menjadi sosok yang yang taat (meski hanya sesaat) hanya karena tuntutan
produser dan menghormati masyarakat yang lagi berpuasa, namun setelah keluar
bulan mulia ini, kembali ke perilaku sebelumnya.
Kemudian,
bagaimana banyak para pejabat akan berlomba-lomba mengundang anak-anak
yatim/miskin ke rumah dinasnya, hanya karena ingin dikatakan sebagai pejabat
peduli rakyat, namun setelah itu kebijakannya tidak pro-rakyat.
Lalu,
bagaimana juga dengan orang-orang kaya mulai memanggil-manggil orang-orang
miskin ke rumahnya, untuk berbagi-bagi angpao, sampai harus berdesak-desakan
dan meregang nyawa, padahal seharusnya yang bersedekahlah yang menghampiri
orang-orang yang mau disedekahi.
Hmmm…bener-bener
ketulusan yang terkamuflase.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar